Sunday 25 September 2016

The Role of Azolla microphylla on Indonesian Organically Rice Production

The Role of Azolla microphylla on Indonesian Organically Rice Production
(Peranan Azolla microphylla Dalam Penyelenggaraan Produksi Padi Organik)

Oleh:
Ir. R.M. Purwandaru Widyasunu Tondakusuma, MSc.Agr.
Laboratorium Tanah/Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Unsoed
September 2016


Abstrak
Sejak tahun 2001 Pemerintah telah mencanangkan budidaya tanaman pangan dengan tatakelola organik dan telah ditegaskan lagi bahwa pada tahun 2010 lalu harus mulai Go Organik. Namun demikian petani dan penyuluh pertanian mengalami kegalauan terutama untuk mendapatkan material pembuatan pupuk organik untuk meningkatkan kandungan ideal (5 persen) bahan organik tanah. Tatakelola budidaya organik salah satu intinya adalah pengelolaan kesuburan tanah secara organik-biodinamik. Azolla microphylla adalah tanaman paku air yang di dalamnya hidup simbionnya Anabaena azollae. Paku air tersebut telah diteliti oleh penulis dan peneliti lain pada budidaya tunggalnya maupun budidaya tumpangsari antara tanaman Padi-Azolla dan mempunyai manfaat luar biasa untuk ketahanan pangan berbasis penggunaan lahan sawah. Manfaat luar biasanya adalah: menurunkan volatilisasi amoniak dari perairan dan tanah sawah, menambat N2 atmosfer, kandungan hara makro dan mikro biomassnya tinggi sampai cukup tinggi, mudah menggandakan diri dalam 2 malam, prospek produksi biomass maksimal di tropika bisa mencapai 20-30 ton/ha kering tiris dalam 20 hari, tumpangsari dengan padi bermanfaat pengelolaan keharaan autogenik in-situ, meningkatkan produksi padi, dan prospek tinggi biomassnya untuk pembuatan pupuk bokhasi dan pupuk organik cair di tingkat petani maupun industri. Pengelolaan Azolla microphylla memerlukan rekayasa:  teknis, tata ruang, rekayasa sosial-budaya, agronomis, dan keindustrian berbasis pemberdayaan kelompok tani.. Transformasi iptek dan riset dengan metode parisipatif on-farm akan mendorong petani untuk segera go padi organik.

Key words:  Azolla microphylla, go organik, biomass, manfaat.

Abstract
Since 2001 the Government of Indonesia was stated to begun go organic for food crop, but it had no vast area were cropped organically, though in 2005 Government restated that go organically must be begun on 2010.  Unfortunately, farmer and agricultural extensions officer have been had doubt and difficulty of how will the bulkiness of organic fertilizer material be fulfilled. To go organically, farmer must have compost or green fertilizer to increase tropical soil to have ideally 5 % of soil organic matter. To manage of organic farming, the core soil fertility management is organic bio-dynamic. The water fern Azolla microphylla (Am) with it’s symbion Anabaena azollae is powerful tool to achieve it. The writer was achieved a lot of  it’s function though says Am has  great function as go organic rice technology. The great functions are: high rate of atmospheric N2 fixation, multiplication in only two night, maximal biomass in tropical climate 20-30 ton/ha only in 20 days, it’s dual cropping with rice creates the in-situ autogenic paddy soil’s nutrient cycle, and though it all have great prospectus to develop organic fertilizer in the basis of Am for farmer and small village industry. Therefore, it use and functionality for go rice organically thus need design engineering: biomass technical development, space ordinary, social-culture, agronomy, and industrial based farmer small group.  

Key words:  Azolla microphylla, go organic, biomass, function.

Pendahuluan
Teknologi revolusi hijau di Indonesia dimulai pada tahun enam puluhan dan memang kerawanan pangan telah hilang (1970an), kemudian disusul pencapaian swasembada pangan (1980), dan mencapai klimaks produksi terutama beras pada tahun 1986-1987. Dalam kurun waktu tersebut negara-negara industri mulai berpendapat bahwa paket pertanian modern telah berdampak merusak lingkungan (McGuinness, 1993 dalam Sutanto, 2002). Di Indonesia sendiri selama era revolusi hijau (35 – 40 tahun) dipenuhi dengan kebijakan dan tindakan praktis pemupukan dan penggunaan pestisida kimia pabrikan. Pengaruhnya adalah kerusakan bagian tanah atasan (top-soil) dengan komponen biotiknya, kerusakan biotik lahan (luar tubuh tanah), kerusakan kearifan IPTEK dan budaya leluhur (lokal), dan ketergantungan terhadap pupuk N,P, K dan pestisida pabrikan yang berefek instan. Dalam era post pandora (pasca puncak swasembada pangan) mulai tahun 1990an, Pemerintah mulai menyadari fenomena levelling-off produksi terutama tanaman pangan pada lahan sawah. Levelling-off adalah akibat pemupukan kimia pabrikan terus-menerus, tanpa atau sedikit pengembalian biomass dan pupuk organik oleh petani, demikian juga merupakan dampak merusak dari pestisida membunuh biota tanah pertanian tanpa ampun.
Bandul pemberat masalah kepada petani pada tahun 2000 bertambah lagi. Pemerintah mulai “kewalahan” menyelenggarakan pupuk NPK dan manajemennya, maka mulai dipikirkanlah mengurangi subsidi pupuk kimia NPK (reguler) pabrikan dan menggantinya dengan subsidi pada pupuk organik. Pada masa itu petani negara maju telah go organik dengan baik karena infrastruktur, iptek dan keorganisasiannya telah mapan sehingga go organik tidak banyak masalah (IFOAM, 1996; FAO, 1990; Sutanto, 2002). Sementara di Indonesia, langkah Pemerintah untuk memperketat peredaran pupuk NPK, adanya batasan jumlah pupuk yang diterima “petani penggarap”, dan adanya pengurangan subsidi sehingga harga pupuk kimia pabrikan naik adalah fenomena lampu hijau diperbolehkannya budidaya organik oleh Pemerintah. Pada tahun 2001 Pemerintah telah mulai melaksanakan kegiatan pengembangan pertanian organik melalui Ditjen PPHP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian), dan pada tahun 2010 ini mulai dicanangkannya Go Organic (Damardjati, 2005). Namun demikian kontroversi dan kesulitannya tergambarkan seperti pertanyaan berikut: (i) sudah siapkah masyarakat tani untuk membuat pupuk organik sendiri dengan perolehan jumlah kecukupan untuk tiap tahunnya?, (ii) sudah cukupkah keruahan material pupuk organik?, (iii) sudah siapkah infrastruktur, peruangannya, dan SDM (petani) di pedesaan untuk kesiapan pengelolaan kesuburan tanah?, dan (iv) sudah siapkah kompetensi para Penyuluh untuk mulai go organic? Pertanyaan paling urgen sesuai dengan kondisi/masalah faktual adalah sudah cukupkan keruahan material pupuk organik yang ada di pedesaan atau dikuasai oleh petani/kelompok tani untuk mulai go organic? Itulah yang terutama ingin penulis kupas dalam tulisan ini.
Keinginan Pemerintah melalui program “go organic” sebenarnya merupakan program yang cukup berat karena harus menyiapkan pupuk (bahan) organik yang cukup banyak.  Menurut perhitungan Ismangil (2010), untuk meningkatkan 1 %  kandungan C-organik tanah mineral pada 1 ha lahan dibutuhkan 24 ton C-organik.  Mengacu standar baku mutu pupuk organik (SK Permentan tahun 2009), yaitu harus mempunyai kandungan C-organik minimal 12 %, maka kebutuhan 24 ton C-organik  tersebut harus dipasok dari 200 ton pupuk organik (Ismangil, 2010).  Kondisi tersebut harus dipenuhi karena menurut Simanungkalit et al., (2006), sebagian besar lahan pertanian intensif Indonesia produktivitasnya menurun karena kandungan C-organik tanah  < 2 % (rendah), bahkan tanah sawah di pulau Jawa kandungan C-organik tanahnya < 1 %.  Hal sama dilaporkan oleh Ismangil (2009), yaitu kandungan C-organik pada top soil (horizon O dan A) tanah lempung aktivitas rendah antara 0,5 dan 1 %.  Apabila diperlukan kompos 200 ton/ha dengan asumsi dilaksanakan 3-4 musim tanam, maka tiap musim tanam diperlukan 50-65 ton pupuk organik/ha/musim. Apabila diproyeksikan material ruah campur pengkomposan mengalami penyusutan 50 %, maka dari manakah didapatkan material dengan keruahan 100-130 ton/ha/musim oleh petani? Program Go Organic yang mem-berdayakan adalah apabila petani atau paling tidak tiap kelompok tani mampu mengusahakan materialnya dan membuat komposnya sendiri sehingga ada kedaulatan tani dan ada input dalam yang tinggi.
Mengacu pada kondisi faktual ketersediaan material pembuatan pupuk organik di pedesaan, maka yang tersedia adalah: (i) kotoran ternak (terutama sapi, kambing dan ayam), (ii) sisa-sisa panenan terutama jerami padi, klobot dan tongkol jagung, berangkasan kedelai atau tanaman pangan lainnya, (iii) sampah rumah tangga masyarakat desa, dan (iv) biomass tanaman/vegetasi (BNF dan non-BNF) yang berprospek di pedesaan. Banyak ahli dan pengamat pertanian menyatakan bahwa sampah kota dan pabrik kompos besar bermanfaatnya bagi budidaya tanaman pangan. Namun cukupkah keruahan sampah kota yang telah dikomposkan atau kompos jadi produk pabrik untuk budidaya tanaman pangan di pedesaan?; bisakah harganya dijangkau oleh petani? Jawabannya adalah kompos asal sampah kota atau kompos pabrikan besar keruahannya tidak cukup dan mahal harganya. Pertanyaan yang kemudian bisa difokuskan adalah apakah jenis vegetasi yang berprospek baik dan tinggi keruahannya sebagai material pupuk hijau atau material pengkomposan yang jumlah keruahannya mudah disediakan untuk go organik? Jawabannya masih sulit dan belum cukup ruah, untuk mengantisipasinya butuh waktu paling tidak 1–5 tahun.
Apabila semua jenis material tersebut di atas belum tersedia, belum cukup keruahannya, dan kesulitan pengadaannya, maka apa biomass alternatif yang bisa cepat disediakan? Salah satu alternatif jawabannya adalah Azolla sp., yaitu tanaman paku air yang mampu hidup di perairan tawar dengan ketebalan air optimal 3-5 cm atau bahkan pada permukaan tanah yang lembab. Azolla bersimbiosis dengan simbionnya yaitu Cyanobakteri Anabaena azollae, sehingga mampu memfiksasi N2 (BNF= biological nitrogen fixation) dari atmosfer. Penulis cukup lama  (1996 – 2010) meneliti potensi Azolla (tanaman paku air) yaitu spesies Azolla  microphylla.  Pada penelitian awal (1996-1997, 2001, 2003, 2006) diketahui bahwa pada tumpangsari Padi-Azolla Azolla  microphylla mampu menurunkan volatilisasi NH3 (93-97%) lahan basah, meningkatkan produktivitas tanah sawah, dan menyediakan biomassa untuk pembuatan pupuk organik.  Selain itu penelitian lain menyatakan produksi biomassa Azolla pada lahan sawah adalah antara 15-20 ton kering tiris/ha/2 minggu, nisbah C/N 14-15, C-organik 40-43 %. Kandungan biomassa Am  kering mengandung total N basah tiris 2,80 – 3,04 % (kering 5 – 6 %), P2O5 2,02 – 2,10 %; K2O 9,06 – 9,72 %, Ca total 5,88 – 6,20 %; Mg total 0,06 – 0,09 % dan  C-organik 40,75 – 42,88 % (data primer Widyasunu, 2009). Dengan demikian, Azolla sangat prospektif untuk mendukung pertanian organic atau program “ go organic 2010”.

Dasar Pemikiran
Pemupukan kimia pabrikan masa revolusi hijau telah menyebabkan: kerusakan tanah dan keragaman hayati, ketergantungan petani akan pupuk NPK efek instan, dan melupakan teknologi kearifan budidaya leluhur. Sejak dekade lalu petani sulit memperoleh pupuk karena subsidi dikurangi drastik oleh Pemerintah, parahnya ke depan diyakini tambang bahan pupuk P dan K akan habis, sedangkan pupuk N (urea dan ZA) ongkos energinya akan mahal sekali. Penyelesaian yang arif adalah memulai go budidaya organik tanaman pangan yang salah satunya memerlukan teknologi pengelolaan kesuburan tanah yang bijak namun efektif. Dalam hal go budidaya organic Pemerintah langkahnya sudah tepat, namun perlu ditunjang dengan program lebih meluas terutama penguatan petani dan kepenyuluhan untuk penyelengaraan pengelolaan kesuburan tanah dan pengedalian OPT bermodel tatakelola organik-biodinamik. Salah satu unsur teknologi yang berprospek untuk dimasukkan adalah Azolla microphylla. Produksi ruah biomassnya sebesar 10 – 30 t/ha/25 hari dapat dicapai oleh petani namun diperlukan rekayasa teknik, tataruang, dan sosial-budaya di pedesaan terutama yang sawahnya beririgasi alam maupun teknis.
Teknologi pengelolaan kesuburan tanah alami yang belum banyak diadopsi dan populer oleh petani namun secara sains dan teknologi telah diketahui banyak manfaatnya  adalah tanaman paku air Azolla. Spesies Azolla yang telah dikuasai iptek utilisasinya (Widyasunu, 1997; Widyasunu et al., 1988a, 1988b, 2006; data primer Widyasunu, 2009, 2010) adalah Azolla microphylla (Am). Azolla tersebut dapat dibudidayakan bersama padi sehingga dapat disebut teknologi budidaya tumpangsari padi organik-azolla. Teknologi ini akan menolong petani mengelola kesuburan tanah sawahnya untuk produksi padi dan tanaman pangan organik berikutnya setelah padi. Teknologi ini akan signifikan menghasilkan keberlanjutan usahatani pada lahan sawah.  Teknologi tersebut akan menghasilkan input keharaan autogenik karena materi pemupukannya adalah biotik dan mampu menstimulasi keragam-biotikan lahan.
Ada dua sisi penunjang atau akselerator keuntungan penggunaan Am pada saat ini yaitu: (i) Pemerintah telah mencanangkan go budidaya tanaman secara organik dan (ii) iptek pengembangan Am telah tersedia. Guna menghantarkan Am sampai pola pemanfaatan kegiatan agronomisnya maka penulis ingin membawa pembaca atau penelaah dan penerap gunaannya melalui: (i) review singkat padat kemajuan penelitian tentang manfaat Am dan Azolla sp. lainnya untuk agronomi tanaman padi, dan (ii) narasi tatakelola pemanfaatan Am di pedesaan dalam rangka go budidaya padi organik. Kelemahan pemanfaatan Azolla sp. selama ini di Indonesia disebabkan oleh deru alasan/pertimbangan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang sulit melepaskan diri bangsa ini dari aplikasi paket teknologi revolusi hijau. Oleh karenanya riset tentang Azolla di Indonesia tergolong sedikit karena sulit termanfaatkan pada era keemasan revolusi hijau. Sekaranglah saatnya untuk mengembangkan pertanian organik, terutama tujuannya untuk mengembalikan kedaulatan usahatani dan eksistensi petani di Indonesia dan mulai memperbaiki agroekosistem. Pemanfaatan Am di dalamnya penulis yakini sangat diperlukan untuk memulai go organic 2010. Tujuan narasi dalam tulisan ini adalah: (i) mengenalkan manfaat Azolla microphylla untuk penyelenggaraan budidaya tanaman pangan berkelanjutan berbasis penggunaan lahan sawah dan (ii) meyakinkan prospek kesuksesan go budidaya padi organik dengan alternatif tatakelola kesuburan tanah sawah menggunakan Azolla microphylla.



Pembahasan
1.  Review Kemajuan Riset Dasar dan Agronomis Azolla
Azolla merupakan tanaman paku air yang menghendaki lingkungan berair yang tenang (placid) namun tetap bisa hidup pada permukaan tanah yang lembab. Habitat Azolla adalah lingkungan air terutama kolam, sawah dan saluran-saluran air (Lumpkin dan Plucknett, 1982), dilaporkan pula terdapat pada rawa-rawa dekat pantai dan pada sungai-sungai di benua Amerika maupun benua Asia dan kawasan kepulauannya.  Nama daerah (lokal) Azolla tentunya di seluruh dunia berbeda, di pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah terkenal namanya dengan apon-apon dan di Banyumas namanya apu-apuhan. Azolla, azo artinya mau kering dan ollyo artinya akan terbunuh, jadi artinya bila biomassnya menjadi kering tanaman tidak akan hidup. Azolla adalah genus dari paku air dengan heterospora yang berkembang dari satu sel awalan (leptosporangiate) (Lumpkin dan Plucknett, 1982). Ada tujuh spesies Azolla yaitu A. caroliniana, A. filiculoides, A. mexicana, A. microphylla, A. rubra, A. nilotica, dan A. pinnata. Azolla microphylla  dicirikan oleh trichome hanya pada lembar daunnya, kondisi masih berkembang tiap frond-nya berdiameter horisontal 1-3 cm dan mempunyai dua atau lebih flabelliform rhizome utama dengan cabang lateral. Warnanya hijau muda sampai hijau agak tua dengan sedikit warna lebih kuning dari spesies lainnya; akar panjangnya bisa 1-2 cm bila tumbuh subur. Temperatur udara yang sesuai untuk Azolla berkisar antara 20-35°C, sedangkan keperluan pH air/lumpur  juga juga bervariasi antara 4-7 dan bertahan pada penerimaan pencahayaan > 25 % (Lumpkin, 1987). A. microphylla dapat berkembang dengan optimal di wilayah kabupaten Banyumas baik pada saat musim hujan maupn kemarau asalkan ada suplai air di sawah, pada kondisi sedikit melumpur masih bertahan untuk berkembang, pH air antara 6,0-8,5 masih berkembang baik, temperatur udara 28-30C belum menunjukkan daur terbakar (Widyasunu, 1997), namun bila penyinaran sampai permukaan frond (populasi) melebihi 70-80% A. microphylla menunjukkan daun coklat dan terbakar sehingga pertumbuhan dan perkembangan juga terhambat (data primer Widyasunu, 2009), namun dapat diperbaiki dengan pemberian fosfat dan glukosa (data primer Widyasunu, 2010). Menurut Tel Or et al. (1991), gula (sukrosa, fruktosa dan glukosa) mampu meningkatkan fiksasi N udara oleh Cyanobacteria simbion dari Azolla karena alga biru hujau tersebut memerlukan gula sebagai sumber karbon. Mekanisme penggunaan gula oleh Cyanobacteria dalam Azolla dapat direview dalam tulisan berbagai tim peneliti dalam Tel Or et al. (1991).
Azolla micropylla mampu menghasilkan N dalam ekosistem perairan karena dalam rongga-rongga kamar daunnya tersimpan hidup Anabaena Azollae secara mutualistik yang mampu memfiksasi N2 udara (Lumpkin dan Plucknett, 1982).  Oleh karena itu, Azolla-Anabaena Azollae mampu menyumbang N-BNF bagi padi sawah (Lumpkin, 1987; Mabbayad, 1987; Johal, 1986; Roger dan Ladha, 1992).  Di samping itu Azolla juga dilaporkan oleh banyak peneliti mampu meningkatkan efisiensi pemupukan urea (Moeller, 1994; Vlek et al., 1995; Widyasunu, 1997; Widyasunu et al., 1998). Di Thailand (Loudhapasitiporn dan Kanareugsa, 1987), Filipina (Roger dan Watanabe, 1977; Mabbayad, 1987), India (Kannaiyan, 1987), Cina (Zhang et al., 1987), dan banyak negara lainnya (IRRI, 1987), Azolla telah lama dikembangkan dan hasilnya mendongkrak produksi padi nasional negara-negara tersebut karena tingginya efisiensi pemupukan nitrogen-urea, bahkan masih berlangsung hingga saat ini.  Di Indonesia Azolla juga pernah dikembangkan namun belum mendapatkan perhatian serius oleh Departemen Pertanian walaupun telah diketahui manfaat yang luar biasa dari Azolla. Penelitian manfaat agronomis Azolla di Indonesia belum banyak ditemukan setelah tahun 1990 (studi jurnal SSAJ 1990– 2000), namun di Jerman (Cisse dan Vlek, 2003) dan di Filipina (De Macale dan Vlek, 2004) pada tahun-tahun tersebut masih menelitinya. Sudah saatnya sekarang di Indonesia dikaji manfaat Azolla namun lebih ditekankan untuk pemanfaatannya sebagai biomass pembuatan pupuk organik, sebagai metode BNF dalam dual cropping padi organik-azolla dan perencanaan ke arah manfaatnya mengatasi pemanasan global.
Kalau manfaat luarbiasa Azolla microphylla bagi dunia pertanian dan lingkungan tidak segera dikaji sampai advance, maka hal itu akan menunda keputusan kita untuk segera memandirikan petani dan pertanian dan menunda upaya kita melindungi planet bumi kita dari cepatnya peningkatan pemanasan global. Azolla di China utara (You, et al., 1982), penangkapan N2 udara (BNF) oleh azolla pada sistem dual crop padi-azolla adalah sebesar 40-60 %/musim atau hitungannya setara 5 kg N/ha/5-6 hari pada kondisi iklim optimal. Pada tahun 2009 (data primer Widyasunu, 2009), Azolla microphylla yang di kembangkan secara mini bank di Purwokerto, kandungan N nya sebesar 5 – 6 % biomass kering udara, hitungan kemampuan fiksasi N2 adalah 500 – 600 kg N/musim.
Kemampuan Azolla microphylla memfiksasi N lebih tinggi dibandingkan dengan Crotalaria rostrata yang hanya sebesar 303 kg N/ha/th (Roger dan Ladha, 1992).  Potensi itu menjadikan Azolla sangat strategis dikembangkan sebagai sumberdaya basis pengembangan pupuk organik di pedesaan. Potensi memfikasasi Azolla paling mutakhir dapat didekati dengan persen kandungan N yaitu 5 – 6 % dalam biomassanya (Widyasunu, 2009), apabila dianggap pembebasan N bersih sebesar 70 % nya maka N terbebas autogenik potensinya bisa sebesar 350–420 kg N/ha/musim tanam padi. Selain pemfiksasi N jumlah tinggi, Azolla juga mudah berkembangbiak pada lahan sawah, namun tidak merupakan saingan padi dalam hal penggunaan hara kalium, biomassanya yang tenggelam pada lumpur mudah terdekomposisi dan membebaskan amonium sebanyak 62-75 % dari total N dalam waktu 6 minggu (Watanabe et al., 1977). Widyasunu (1998) mendapatkan waktu dekomposisi N dari biomass Azolla juga tidak lebih dalam 6 minggu. Azolla hidup mampu mengikat N udara karena Anabaena, namun juga mampu mengimobilisasi 68 % N pupuk-15N, namun 45 % nya mengalami re-mineralisasi setelah panenan padi (Cisse dan Vlek, 2003).  De Macale dan Vlek (2004), melaporkan bahwa pupuk-15N terserap 77 – 99 % oleh padi yang dibudidayakan tumpangsari dengan Azolla. Data nisbah C/N Azolla microphylla paling akhir menunjukkan kisaran 14,09 – 14,57 kondisi kering oven, sehingga Azolla microphylla memang cepat terdekomposisi (Widyasunu, 2009). Narasi sejarah antara tahun 1995 – 2009 tersebut menunjukkan bahwa Azolla masih sangat baik untuk menolong petani dalam menghambat volatilisasi amoniak dan berpotensi besar sebagai pabrik N-BNF hidup dan keharaan makro dan mikro lahan sawah yang berkelanjutan. Data dan informasi riset dasar dan aplikatif agronomis/lingkungan terdokumentasi dengan baik oleh penulis.
2. Tatakelola pemanfaatan Azolla microphylla untuk Go Organic: prospek, ke-lemahan, dan terobosan
Potensi Azolla tersebut di atas menjadi alasan kuat bagi Azolla untuk dikembangkan di lahan persawahan menjadi sumber hara N pengganti pupuk urea dan sebagai sumber hara makro lainnya dan hara mikro (Johal, 1986). Guna memperkaya kandungan hara kompos asal Azolla tinggal ditambahkan dengan bahan lain yang sudah tersedia di pedesaan (kotoran ternak, sisaan tanaman) dan menggiatkan lagi pengembangan Crotalaria sp. Widyasunu (1997), telah membuktikan bahwa Azolla microphylla sangat baik dikembangkan pada sawah wilayah iklim tropika dan telah berhasil didayagunakan dalam penelitian untuk menekan tingkat volatilisasi amoniak pupuk urea sehingga meningkatkan efisiensi pemupukan urea. Azolla microphylla sangat layak untuk didayagunakan sebagai agen fiksasi N atmosfer dan efisiensi penggunaan hara untuk tanaman padi dan tanaman lainnya pada lahan sawah.
Azolla microphylla telah diidentifikasi oleh Watanabe et al. (1992) dalam Roger (1995), sebagai spesies Azolla yang toleran dikembangkan pada sawah wilayah tropik bersuhu tinggi (kisaran 37° C siang hari - 29° C malam hari). Hasil pengamatan mutakhir (data primer: Widyasunu, 2010) menunjukkan Azolla microphylla mampu menghadapi panas lingkungan siang hari dan dingin lingkungan sekitar sawah malam hari lebih baik setelah diberikan living organism basic organic + glukosa. Hal tersebut merupakan perbaikan terhadap kelemahannya di tropika yang selain oleh panas berlebihan juga harus suplai fosfat tinggi  (Lumpkin dan Plucknett, 1982); fosfat bisa diantisipasi oleh P-organik (Widyasunu, 2006).
Tatakelola pemanfaatan Azolla microphylla sebagai subyek pengelolaan kesuburan tanah organik-biodinamik untuk go budidaya padi organik meliputi pendekatan: (i) teknis, (ii) tata ruang, (iii) rekayasa sosial-budaya, (iv) agronomis, (v) keindustrian berbasis pemberdayaan kelompok tani, dan (vi) penata layanan sistem budidaya organik-biodinamik. Aspek-aspek pendekatan tersebut selanjutnya difungsikan dalam bentuk program kegiatan sistem pertanian organik yang padu sehingga terjadi sinergi pelaksanaannya. Pemaparannya disajikan pada paragraf-paragraf berikut.
  Metode teknis yang dipergunakan untuk pengembangan Azolla sebagai basis pengelolaan kesuburan tanah yang organik-biodinamik dapat didekati dengan model percontohan bank mini Azolla di pedesaan, demplot budidaya Azolla di persawahan secara tunggal maupun tumpangsari padi-Azolla, dan percontohan pembuatan bokhasi dan pupuk organik cair berbasis biomass Azolla. Inti metode ini adalah transformasi iptek budidaya Azolla, pemanfaatan agronomis dan produksi pupuk organik. Metode ini akan sangat berkaitan dengan tatakelola berikutnya terutama tataruang, dan seterusnya pada paragraf di atas. Pengembangan bank Azolla akan sangat penting karena merupakan infrastruktur konservasi biomassa hidup Azolla.
Tatakelola pengembangan Azolla microphylla juga memerlukan regulasi tataruang lahan sawah dan pekarangan kelompok tani. Kelompok tani merupakan inti pengembang iptek Azolla, sehingga pengerahan SDM dan rembug desa tentang tataruang sangat krusial. Bank Azolla berupa petak kecil dari kayu atau kolam kecil di pekarangan rumah petani andalan dan petak pembiakan ruah Azolla pada tiap musim tanam padi pada lahan petani andalan harus disepakati, didukung dan dibiayai oleh kelompok tani. Pembiakan ruah biomassa Azolla perlu disiapkan tiap musim tanam untuk inokulasi Azolla pada teknologi budidaya tumpangsari padi organik-Azolla. Produksi padi organik memerlukan iptek tatakelola khusus menyangkut teknik perbanyakan Azolla dan produksi bokhasi/POC berbasis Azolla. Menurut pengalaman penulis, inokulasi awal Azolla microphylla 1 t/ha kering tiris akan menghasilkan 10-20 t/ha kering tiris dalam waktu rata-rata rentang 10-20 hari, sedangkan bila awalnya 1,5 t/ha pencapaiannya bisa kurang dari 20 hari. Hitungan tersebut bisa dijadikan dasar pendekatan rekayasa jumlah sub kelompok tani go padi organik yaitu per 10 hektar (20-40 petani). Ketersediaan inokulan multiplikasi Azolla microphylla sebesar 1-1,5 t/musim bisa untuk memulai go organik paling tidak untuk 10 ha lahan sawah. Sumber inokulan multiplikasi adalah bank Azolla sub kelompok tani.
Rekayasa sosial-budaya petani adalah proses modifikasi kelembagaan unit kecil kelompok tani menjadi sel organisasi terkecil yang akan dijadikan pusat transformasi iptek teknologi pemanfaatan Azolla microphylla. Modifikasi kelembagaan memerlukan pendekatan partisipatif tokoh tani sel organisasi yang bisa berwujud sub kelompok tani. Tujuan modifikasi adalah kesuksesan transformasi iptek, kesepakatan pelaksanaan bank Azolla dan multiplikasinya yang berkaitan erat dengan tataruang, dan sukses rencana go budidaya padi organik.
Pendekatan agronomis adalah proses transformasi iptek khusus budidaya tumpangsari Padi organik-Azolla microphylla (Am), termasuk pula pola tanam tanaman pangan organik pasca musim padi. Karakter kehidupan Am dan varietas padi organik lokal, dan pembelajaran bioteknologi tanah dan ekologi tanah/lahan perlu dilaksanakan. Jarak waktu inokulasi Am dengan waktu tanam padi, jarak tanam padi (model SRI/non-SRI), dan prinsip tatakelola keharaan biodinamik perlu akurasi sehingga tidak berbeda antara riset dengan faktual on-farm. 
Pengembangan industri pupuk organik berbasis biomassa Am yang dikembangkan sendiri oleh sub kelompok tani atau minimal kelompok tani akan menunjang pengadaan pupuk organik secara kolektif. Namun demikian semakin banyak jumlah anggota yang dilayani maka akan bisa semakin kompleks manajemen dan masalah yang muncul. Industri pupuk organik yang dimunculkan bisa berupa produksi pupuk organik padat dan pupuk organik cair, sangat dimungkinkan pula dirangkaikan dengan produksi pestisida hayati atau organik karena prinsipnya sama yaitu fermentasi bahan pupuk dan pestisida. Biomassa Am dapat dijadikan bahan ruah utama produksi pupuk organik, dengan demikian produksi biomass Am sangat dibutuhkan mutlak. Pupuk hayati atau bisa disebut agensia hayati yang akan digunakan sebagai biang pengkomposan dapat dibuat sendiri oleh kelompok tani maupun memakai produk pabrikan. Namun demikian harus jelas komposisi mikroba yang terkandung untuk memproses material organik menjadi pupuk organik berkualitas.
Penata layanan sistem budidaya organik-biodinamik diperlukan untuk merancang tatalaksana dan tatakelola budidaya tanaman pangan berbasiskan penggunaan lahan sawah beririgasi karena pemanfaatan Am lebih tepat dan paling mudah pada lahan tersebut. Pada saat musim penghujan atau selama ada air irigasi mencukupi maka dikembangkan budidaya multiplikasi Am dan tumpangsari padi organik-Am. Setelah musim tanam padi (bisa satu atau dua kali) adalah pembudidayaan tanaman pangan non-padi yang sebaiknya berkaidah organik-biodinamik. Oleh karena itu sangat diperlukan ketersediaan bokhasi dan pupuk organik cair berbasiakan Am karena biomassanya telah disediakan pada teknologi go organik berbasis Azolla microphylla.

Kesimpulan
1.     Azolla microphylla adalah paku air yang mudah dikembangkan petani sawah yang berprospek besar untuk pengelolaan hara berkelanjutan untuk go padi organik.
2.      Tatakelola pengembangan Azolla microphylla dapat ditempuh melalui rekayasa sinergisme: (i) teknis, (ii) tata ruang, (iii) sosial-budaya, (iv) agronomis, (v) keindustrian berbasis pemberdayaan kelompok tani, dan (vi) penata layanan sistem budidaya organik-biodinamik.


Daftar Pustaka Acuan:
Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Petunjuk Laboratorium. IPB, Bogor.

Cisse, M., and Paul L.G. Vlek. 2003. Conservation of Urea-N by Immobilization-Remobilization in a Rice-Azolla Intercrop. Plant and Soils 250: 95-104. 

De Macale, Maria Andrea, R. And Paul. L.G. Vlek. 2004. The Role of Azolla Cover in Improving The Nitrogen Use Efficiency of Lowland Rice. Plant and Soils 263: 311-321.

Etika N., D., P. Widyasunu., T. Agustono. 2009. Identification of Upland Characteristics for Land Degradation Potential of Logawa Sub-River Basin Banyumas Regency to Encourage It’s Rehab-ilitation Trough Conserv-ation Crop Livestock Farming System. Proceeding of Inter-national Seminar on Upland For Food Security. Sub Topic: Cropping System and Land Conserv-ation. Held in Agricultural Faculty of Unsoed. Nov., 7-8, 2009 (In Preparation to Press By Organizing Committee).

Handoko, I., Y. Sugiarto., dan Y. Syaukat. 2008.  Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan independent dalam bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO BIOTROP, Bogor, Indoensia.

He, Z.L., A.K. Alva, D.V. Calvert, and D.J. Banks.  1999.  Ammonia Volatilization from Different Fertilizer Sources and Effects of Temperatur and Soil.  Soil Science.  Oct’1999.  Vol. 164, No. 10: 750-758.

Heni, P., 2006. Kajian Pemanfaatan Bahan Organik Berbasis Azolla dan Batuan Fosfat Alam Terhadap Keharaan P Pada Tanah yang Disawahkan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Unsoed, Purwokerto.

IHSS, 2000. IHSS 10.  Proceedings of 10th International Meeting of The International Humic Substances Society: Entering the Thrid Millenium with a Common Approach to Humic Substances and Organic Matter in Water, Soil and Sediments. 24-28 July 2000 in Touloese, France. Two Volumes.

Ismangil. 2009.  Potensi Batu beku, Kalsit, dan Campurannya Sebagai Amelioran pada Bahan Tanah Lempung Aktivitas Rendah. Disertasi. Program Pasacasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 395 hal.

Johal, C.S.  1986.  Studies on The Utilization of Azolla-Anabaena Symbiosis by Flooded Rice.  Dissertation.  Georg-August University, Goettingen, Germany.

Kannaiyan, S.  1987.  Use of Azolla in India. In: Azolla Utilization.  Proceeding of The Workshop on Azolla Use.  Fozhon, Fujian, China. 31 March-5 April 1985. Pp. 109-117.

Kroeck, T.J., J. Alkamper, and I. Watanabe.  1988.  Effect of an Azolla Cover on The Conditions in Floodwater.  J. Agron and Crop Sci. 161: 185-189.

Kurnia Sari, 2006. Kajian Pemanfaatan Bahan Organik Berbasis Azolla dan Pupuk Urea Terhadap Keharaan N Tanah Sawah. Skripsi. Fakultas Pertanian, Unsoed, Purwokerto.

Kurniawan, Ruly E.K., and P, Widyasunu. 2009. Characterization of Volcanoes Upland Degradation Caused By Stone and Sand Mining and It’s Reclamation Scenario for Biomass Production. Proceeding of Inter-national Seminar on Upland For Food Security. Sub Topic: Agriculture Manage-ment. Held in Agricultural Faculty of Unsoed. Nov., 7-8, 2009 (In Preparation to Press By Organizing Committee).

Loudhapasitiporn, L., and C. Kanareugsa.  1987.  Azolla Use in Thailand. In: Azolla Utilization.  Proceeding of The Workshop on Azolla Use.  Fozhon, Fujian, China. 31 March-5 April 1985. Pp. 119-122.
Lumpkin, T.A., and D.L. Plucknet.  1982.  Azolla as Green Manure:  Use and Management in Crop Production.  Westview Press/Boulder, Colorado.

Lumpkin, T.A.  1987.  Environmental Requirement for Succesful Azolla Growth.  In:  Azolla Utilization.  IRRI, Manila, Philippines.

Mabbayad, B.B.  1987.  The Azolla Program of The Philippines.  In:  Azolla Utilization.  IRRI, ManilaPhilippines. Proceeding of The Workshop on Azolla Use.  Fozhon, Fujian, China. 31 March-5 April 1985. Pp. 189 – 195.

MÜLLER, H.A. 1994.  Nitrogen dynamics and losses in a urea fertilized Azolla-Rice system.  Thesis.  Georg-August University, Göttingen, Germany.

Noviyanti, H. 2003. Manfaat Pemberian Azolla dan Zeolite untuk Konservasi Amonium dalam Lumpur Sawah.  Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Nurois. 2003.  Manfaat Pemberian Azolla dan Zeolite terhadap Konservasi Amonium dalam Air Sawah Setelah Pemupukan N. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Roger, P.A., R. Jimenez, and S.S. Ardales.  1991.  Methods for Studying Blue-Green-Algae in Ricefield: Distributional Ecology, Sampling Strategies, and Estimation of Abundance.  IRRI. Los-Banos

Roger, P.A.  1982.  Research on Algae, Blue-Green-Algae, and Phototrophic Nitrogen Fixation at IRRI.  IRRI.  Los-Banos.

Roger, P.A., and J.K. Ladha.  1992.  Biological N2 Fixation in Wetland Rice Field: Estimation and Contribution to Nitrogen Balance.  Plant and Soils.  141: 41-45.

Simanungkalit, R.D.M., D. A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006.  Pupuk Organik. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor.

Stevenson, I.L. and J.W. Rouatt. 1953.  Qualitative studies of soil micro-organisms. Canadian Journal Botany 31: 438-447.

Tel-Or, E., E. Bar, C. Watad, O. Klein, and C. Forni. 1991.  Structure, Metabolism and Nitrogenase Regulation in The Azolla-Anabaena Association.  In: M. Polsinelli, R. Materassi, and M. Vincenzinni (Eds.). 1991. Nitrogen Fixation. Proceeding of The Fifth International Symposium on Nitrogen Fixation with Non-Legumes,  Florence, Italy, 10-14 Sept. 1990. Kluwer Academic Publishers. Pp. 388-398.

Vlek, P.L.G., M.Y. Diakite, and H. Moeller.  1995.  The Role of Azolla in Curbing Ammonia Volatilization from Flooded Rice System.  Fertilizer Research.  42:165-174.

Walker, L.R., and R. del Moral. 2003. Primary Succession and Ecosystem Rehabilitation. Cambridge University Press. Cambridge, New York, Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, Sao Paulo.

Watanabe, I., K.K. Lee, B.V. Alimagno, M. Sato, D.C. del Rosario, and M.R. de Guzman.  Biological Nitrogen Fixation: In Paddy Field Studied by In Situ Acetylene-Reduction Assays.  IRRI Research Paper Series.  No. 3, 1977.  The IRRI, PO Box 933, Manila, Philippines.

Watanabe, I., and W. Cholitkul.  1979.  Field Studies on Nitrogen Fixation in Paddy Soils.  In: Nitrogen and Rice.  IRRI, Los Banos, Philippines. P.p. 223-239.

Watanabe, I., S.K. De Datta, and P.A. Roger.  1987.  Nitrogen Cycling in Wetland Rice Soils.  In:  Wilson, J.R. (Ed.).  1987.  Advances in Nitrogen Cycling in Agricultural Ecosystems.  Proceeding of the Symposium on Advances in Nitrogen Cycling in Agricultural Ecosystem held in Brisbane, Australia, 11-15th May 1987.  C.A.B.  International, Wallingford, UK. P.p. 239- 256.

Widyasunu, P.  1997.  The Role of Azolla microphylla in Reducing The Ammonia Volatilization in Flooded Rice Fertilized with Urea.  Thesis. Georg-August University, Goettingen, Germany.

Widyasunu, P., P.L.G. Vlek, A.M. Moawad, and I. Anas.  1998.  Ability of Azolla in Reducing Ammonia Volatilization in Waterfed Rice Field.  Agrin. Vol. 2 No. 4 April 1998. P.p. 24-38.

Widyasunu, P., Bondansari, M. Rif’an.  2000.  Penilaian Kualitas Tanah Berdasarkan Dinamika Bahan Organik Tanah di Lereng Selatan Gunung Slamet Wilayah Kabupaten Banyumas.  Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto.

Widyasunu, P., Bondansari, M. Rif’an.  2000.  Pengujian Status Asam Amino Tanah dan Korelasinya dengan Bahan humik Tanah pada Lahan Kering untuk Mendukung Rekomendasi Pemupukan Nitrogen.  Laporan Hasil Penelitian.  Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto.

Widyasunu, P., Bondansari, M. Rif’an.  2001.  Pengujian Hubungan Diantara: Humifikasi Bahan Organik Tanah, Tingkat Degradasinya, dan Aktivitas Pertanian dalam Ekosistem yang Berbeda.  Laporan Hasil Penelitian.  Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto.

Widyasunu, P., M. Rif’an, dan Bondansari. 2003. Meningkatkan Sinergisme Batuan Fosfat Alam dengan M-Bio Melalui Pemanfaatan Bahan Humik dari Kompos Centrosema pubescens Ultisol yang Ditanami Kedelai. Laporan Hasil Penelitian. Universitas jenderal Soedirman. Purwokerto.

Widyasunu, P, Kurnia Sari, dan H. Purwanti. 2006.  Pemanfaatan Kompos Berbasis Biomassa Azolla microphylla, Pemupukan Urea dan Batuan Fosfat Alam Terhadap Keharaan N dan P Tanah Sawah. Kolaborasi Riset. (belum dipublikasikan).
Widyasunu, P. dan S. Atmodjo. 2009. Manfaat Pemberian Pupuk Organik dan Mikoriza untuk Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Pasir Batu pada Fisiografi Perbukitan Kabupaten Banyumas. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

You, C., R. Zhang, and W. Song.  1987.  Some Aspect of Rice-Azolla Association in Northern China.  In: Azolla Utilization.  Proceeding of The Workshop on Azolla Use.  Fozhon, Fujian, China. 31 March-5 April 1985. Pp. 189-195.

Wolf, S., and Georg, H. Snyder. 2002. Sustainable Soils The Place of Organic Matter in Sustaining Soils and Their Productivity. Food Product Press. Imprint of The Haworth Press, Inc. New York, London, Oxford.

Yusnaini, S.  1995.  Peranan Azolla dalam Mensubstitusi Kebutuhan Nitrogen Padi Sawah IR-64.  Thesis.  Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor.

Zhang Zhuang-Ta, Ke Yu-Si, Ling De-Quan, Duan Bing-Yuan, and Liu Xi-Lian.  1987. Utilization of Azolla in Agricultural Production in Guangdong Province, China. In: Azolla Utilization.  Proceeding of The Workshop on Azolla Use.  Fozhon, Fujian, China. 31 March-5 April 1985. Pp. 141-145.