Memahami
La Nina, Dampaknya bagi Produksi Pertanian dan Adaptasinya
Oleh:
Ir. R.M. Purwandaru Widyasunu Tondakusuma, MSc.Agr.
14
Desember 2016.
(Dosen
Bidang Studi Ilmu-Ilmu Tanah, Lahan, dan Agroklimatologi - Agroteknologi Faperta Unsoed)
Tulisan
merupakan review dari tulisan –tulisan di internet (blog, PDF internet) Surat Kabar,dan Buku.
Iklim
merupakan rata-rata cuaca jangka panjang. Perubahan iklim didefinisikan sebagai
perubahan pada iklim yang dipengaruhi oleh langsung atau tidak langsung oleh
aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar
keragaman iklim teramati pada jangka waktu yang panjang. Unsur iklim peragam
kondisi atmosfera bumi ada banyak yaitu: radiasi sinar matahari, hujan,
kelembaban udara, temperature udara, tekanan udara, angin, dan komposisi
gas-gas dan partikel padatan di atmosfer. Secara umum kondisi curah hujan dan
suhu udara suatu wilayah dapat menggambarkan kondisi iklim wilayah tersebut.
Untuk wilayah NKRI, dibanding unsur-unsur iklim yang lainnya, curah hujan mempunyai
sifat ragam yang tinggi, baik hal itu menurut tempat maupun rentang waktu
(musim).
Wilayah
Indonesia terdapat tiga pola hujan yaitu: monsoon, ekuatorial, dan lokal.
Analisis data hujan yang tercatat, menunjukkan bahwa antara tahun 1971 -2002,
curah hujan tahunan di Indonesia berkisar antara 501 mm – 6.400 mm. Panjang
periode musim hujannya sangat beragam tiap wilayah Indonesia, yaitu antara 1
sampai 10 bulan, dengan periode musim kemaraunya antara 2 sampai 11 bulan.
Panjang pendeknya periode hujan dan kemarau tersebut kemudian berdasarkan
fenomena perubahan iklim juga mengalami perubahan memendek atau dan memanjang
akibat fenomena El-Nino dan La-Nina.
Posisi
geografis wilayah Indonesia menyebabkan iklim Indonesia dipengaruhi oleh
berbagai fenomena iklim regional dan global seperti: monsoon, El-Nino, La-Nina,
dan ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone. El-Nino dan La-Nina selama tahun
pengamatan 1973-2013 telah mengalami sebelas kali (12 x) El-Nino dan 12 x
La-Nina, yang teramati wilayah Indonesia di masing-masing propinsi mengalami
pemanjangan pemendekan musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK).
Pergeseran/perubahan panjang pendek MH dan MK ini menyebabkan berubahnya pola tanam
tanaman pangan di Negara kita ini; juga merubah luasan tanam sekaligus luasan
panenan, produksi tanaman pangan utama, dan otomatis produktivitas tanamannya.
Sekarang
kita melihat dahulu apakah El-Nino danLa-Nina itu; membahas La-Nina tidak bisa
terlepas dari El-Nino, karena keduanya siklus perubahan suhu permukaan air laut
global di Samudera pasifik yang sangat berhubungan dan berdampak bagi Negara
kita Indonesia. Indonesia (NKRI) adalah wilayah maritim dengan wilayah lautan
sangat luas mengelilingi pulau-pulaunya > 12.000 pulau besar dan kecil.
Tetunya masyarakat awam tidak atau belum mengerti betul bahwa luasnya lautan
dan dikelilingi oleh samudera Pasifik dan samudera Hindia, hal itu menyebabkan
variabilitas iklim wilayah Indonesia menjadi sangat beragam. Termasuk perubahan
suhu muka laut dibentangan luas barat timur samudera Pasifik sangat
mempengaruhi/berdampak negatif dan positif terhadap iklim di wilayah NKRI. Informasi
data fenomena El-Nino dan La-Nina saat ini (data dan ilustrasi NASA tahun
2015/2016), wilayahnya meluas ke wilayah Pasifik utara. Hal tersebut,
memungkinkan lebih meluasnya dampak kejadian El-Nino dan La-Nina pada siklus
yang akan datang, paska menguatnya fenomena La-Nina 2016 ini.
El-Nino
dan La-Nina proses fenomenanya sangat dipengaruhi perubahan suhu muka laut samudera
Pasifik; siklus El-Nino dan La-Nina kemudian menjadi salah satu fenomena
perubahan iklim di wilayah NKRI kita ini. El-Nino adalah peristiwa memanasnya
suhu air permukaan laut di pantai barat Peru-Ekuador (Amerika Selatan) yang
mengakibatkan gangguan iklim secara global. Biasanya suhu permukaan laut di
wilayah tersebut dingin karena adanya up-welling (arus dasar laut menuju
permukaan). Di Indonesia, angin muson (monsoon) yang datang dari Asia dan
membawa banyak uap air, sebagian besar berbelok menuju daerah tekanan rendah di
pantai barat Peru-Ekuador. Akibatnya angin yang menuju Indonesia hanya membawa
sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang (memanjang). Fenomena
El-Nino menyebabkan terjadinya kemarau panjang di Indonesia atau musim hujannya
mengalami pengurangan curah hujan dibawah normal. La-Nina adalah kebalikan dari
El-Nino. Peristiwa El-Nino dan La-Nina di Indonesia selalu teramati merupakan
suatu siklus energi dan hidrologis, jadi biasanya setelah setahun/dua tahun El-Nino
maka disusul satu dua tahun berikutnya terjadi La-Nina. La-Nina adalah
peristiwa siklus energi hidrologis samudera Pasifik ketika El-Nino mulai
melemah. Melemahnya El-Nino membuat air laut panas di pantai Peru-Ekuador
kembali bergerak ke arah barat
(Samudera Pasifik), sehingga suhu udara di tempat itu kembali menjadi dingin,
dan up-welling muncul kembali, sehingga kondisi cuaca kembali menjadi normal.
Dengan demikian, La-Nina adalah kondisi cuaca/iklim normal kembali setelah
terjadinya gejala El-Nino. Perjalanan air laut yang panas ke arah barat (arah
ke Indonesia dari Peru-Ekuador) tersebut akhirnya akan sampai di wilayah
Indonesia. Sebagai akibatnya, maka wilayah Indonesia akan berubah menjadi
daerah/wilayah bertekanan rendah (minimum) dan semua angin di sekitar Pasifik
selatan dan samudera Hindia akan bergerak menuju wilayah Indonesia membawa uap
air (hujan). Angin tersebut banyak membawa uap air sehingga umum terjadi hujan
lebat walaupun regulernya sedang musim kemarau.
Fenomena
El-Nino & La-Nina:
Ketika
terjadi La-Nina, ada “kolam panas” yang merupakan suatu bagian (wilayah) air
laut samudera Pasifik timur meningkat suhunya, kemudian bergerak ke Indonesia,
demikian pula terjadi angin bertiup kuat ke arah Indonesia sehingga laut
Indonesia bagian timur memanas suhunya. Memanasnya laut bagian timur NKRI ini
diikuti penguapan tinggi sehingga terjadi konveksi energi yang kuat sehingga
membentuk awan hujan (kumulus), sehingga terjadi proses hujan di atas normal di
wilayah Indonesia. Fenomena La-Nina ditandai dengan menurunnya SPL (suhu
permukaan laut) pada zona Nino (zona 3, 4), sehingga sering disebut juga
sebagai fase dingin. Karena adanya sifat dingin ini, maka sering menimbulkan
bencana banjir besar dengan disertai pergerakan masssa massif tanah di daerah
longsor di berbagai wilayah Nusantara. Dengan demikian DUA gejala perubahan
iklim El-Nino dan La-Nina sama-sama menyebar kebencanaan (kekeringan, banjir,
tanah longsor massif) yang harus bisa ditanggulangi dan diadaptasi oleh tidak
hanya dunia pertanian tapi juga masyarakat umum. Kondisi yang perlu
diperhatikan baik oleh masyarakat maupun oleh Pemerintah adalah waktu kejadian
El-Nino dan La-Nina sulit diprediksi kedatangannya pada tahun sebelum terjadi
siklus menyambung El-Nino & La-Nina; juga siklusnya dilihat dari data
sejarah adalah tidak beraturan. Kondisi tersebut menyebabkan efek El-Nino &
La-Nina mampu menggeser waktu musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK);
akibatnya mampu menggeser/merubah pola tanam tanaman pangan (tanaman semusim)
pada tingkat petani (lapangan).
Bergesernya panjang MH dan MK tergantung pada tingkat SOI (Southern
Oscilation Index) gejala El-Nino & La-Nina. Pada kondisi iklim normal atau
sedang tidak ada gangguan iklim (El-Nino & La-Nina, pen.), maka SOI
kisarannya adalah -1 s/d +1. Kejadian
El-Nino SOI dapat turun dibawah -1 (dibawah normal), sedangkan gejala La-Nina
SOI bisa naik di atas +1 (di atas normal). Di kawasan tropika nilai SOI
berkorelasi kuat dengan curah hujan, oleh karenanya perubahan SOI akan
mempengaruhi besaran curah hujan suatu wilayah tropika. Jadi bila terjadi
El-Nino, maka curah hujan (CH) akan dibawah normal, artinya CH berkurang dan
kejadian sejarah menunjukkan CH menurun tajam pada saat MK maupun MH. Pada
kejadian La-Nina, maka CH akan di atas normal yaitu CH meningkat bisa sangat
tinggi pada saat MK juga MH. Akibat keduanya (El-Nino & La-Nina) terjadi
perubahan panjang pendeknya MH dan MK dengan perubahan CH hujan masing-masing
tahun kejadian El-Nino & La-Nina. SOI dengan nilai tidak ekstrim, hal itu
tidak menyebabkan perubahan CH yang tidak ekstrim. Sebaliknya SOI dengan nilai
katakanlah >> -/+ 5 apalagi sampai -/+ 10, maka akan terjadi kekeringan
hebat akibat CH menurun drastik, atau akan terjadi MK basah s/d sangat basah
dan bisa terjadi banjir bandang dan longsor massif pada wilayah yang lahannya
sensitive banjir dan longsor.
Frekwensi,
Perubahan Kebasahan dan Curah Hujan, dan Dampak Saat La-Nina:
Arti
frekwensi perubahan kebasahan dan tinggi CH (curah hujan) dan dampaknya saat
proses La-Nina adalah seberapa jauh akibat tingkat kebasahan suatu wilayah
akibat turunnya hujan (CH) pada tahun-tahun berlangsungnya La-Nina dan dampak
yang diakibatkannya bagi masyarakat atau dunia pertanian. Kita secara nasional
telah mempunyai data kekuatan SOI pada saat El-Nino maupun La-Nina. Pada kurun
tahun 1970 – 2013 telah tercatat 12 kali tahun mengalami La-Nina cukup ekstrim
sampai ekstrim yaitu tahun-tahun: 1970,1971, 1973, 1974, 1975, 1988, 1989,
1999, 2000, 2008, 2010, dan 2011; dengan mulainya Juli tahun 2016 ini terjadi
La-Nina (tahun 2015 El-Nino), maka sedang terjadi kali ke-13 tahun-tahun
La-Nina antara kurun tahun 1970-2016. Bulan Juli tahun 2016 ini sudah lebih
dari 3/4 bulan terjadi hujan di beberapa wilayah Indonesia. Hal ni mengindikasikan
adanya pergerakan penguatan La-Nina pada tahun 2016 ini. Di berita surat kabar
sudah banyak muncul informasi kebingungan petani untuk mulai membudidayakan
komoditas tanaman apa pada bulan Juli 2016 ini. Regulernya adalah menanam
palawija (kedelai, jagung), baru awal MH 2016 (Okt-Nov) menanam padi sawah
lagi; atau bagi petani bawang merah Brebes September/Oktober mulai tanam bawang
merah. Guna menentukannya mari kita melihat pengalaman sejarah kita mengalami
La-Nina.
Tabel 1. Nilai SOI saat
La-Nina rentang tahun 1970-2013.
Tahun
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agts
|
Sept
|
Okt
|
Nov
|
Des
|
1970 N
|
- 10,1
|
-10,7
|
1,8
|
- 4,6
|
2,1
|
9,9
|
- 5,6
|
4,0
|
12,9
|
10,3
|
19,7
|
17,4
|
1971 La
|
2,7
|
15,7
|
19,2
|
22,6
|
9,2
|
2,6
|
1,6
|
14,9
|
15,9
|
17,7
|
7,2
|
2,1
|
1973 La
|
- 3,0
|
-13,5
|
0,8
|
-2,1
|
2,8
|
12,3
|
6,1
|
12,3
|
13,5
|
9,7
|
31,6
|
16,9
|
1974 La
|
20,8
|
16,2
|
20,3
|
11,1
|
10,7
|
2,6
|
12,0
|
6,6
|
12,3
|
8,5
|
-1,4
|
-0,9
|
1975 La
|
-4,9
|
5,3
|
11,6
|
14,4
|
6,0
|
15,5
|
21,1
|
20,7
|
22,5
|
17,7
|
13,8
|
19,5
|
1988 La
|
-1,1
|
-5,0
|
2,4
|
-1,3
|
10,0
|
-3,9
|
11,3
|
14,9
|
20,1
|
14,6
|
21,0
|
10,8
|
1989 La
|
13,2
|
9,1
|
6,7
|
21,0
|
14,7
|
7,4
|
9,4
|
-6,3
|
5,7
|
7,3
|
-2,0
|
-5,0
|
1997 El
|
4,1
|
13,3
|
-8,5
|
-16,2
|
-22,4
|
-24,1
|
-9,5
|
-19,8
|
-14,8
|
-17,8
|
-15,2
|
-9,1
|
1998 El/N
|
-23,5
|
-19,2
|
-28,5
|
-24,4
|
0,5
|
9,9
|
14,6
|
9,8
|
11,1
|
10,9
|
12,5
|
13,2
|
1999 La
|
15,6
|
8,5
|
8,9
|
18,5
|
1,3
|
1,0
|
4,8
|
2,1
|
0,4
|
9,1
|
13,1
|
12,8
|
2000 La
|
5,1
|
12,9
|
9,4
|
16,8
|
3,6
|
-5,5
|
-3,7
|
5,3
|
9,9
|
9,7
|
22,4
|
7,7
|
2008 La
|
14,1
|
21,3
|
12,2
|
4,5
|
4,3
|
5,0
|
2,2
|
9,1
|
14,1
|
13,4
|
17,1
|
13,3
|
2009 N
|
9,4
|
14,8
|
0,2
|
8,6
|
-5,1
|
-2,3
|
1,6
|
-5,0
|
3,9
|
-14,7
|
-6,7
|
-7,0
|
2010 La
|
-10,1
|
-14,5
|
-10,6
|
15,2
|
10,0
|
1,8
|
20,5
|
18,8
|
25,0
|
18,3
|
16,4
|
27,1
|
2011 La
|
20,0
|
22,6
|
21,3
|
25,7
|
1,7
|
1,6
|
10,4
|
2,0
|
11,4
|
8,4
|
13,0
|
23,0
|
2012 N
|
9,9
|
2,4
|
2,9
|
-6,5
|
-2,7
|
-10,7
|
-1,0
|
-5,7
|
2,9
|
2,2
|
3,9
|
-6,1
|
Keterangan: N=normal;
La = La-Nina; El = El-Nino (data pdf dari internet). Sumber: Irawan, B. 2016.
Pada
periode tahun 1970-2000 terjadi 8 kali tahun kasus La-Nina yang cukup ekstrim,
yang pada rentang tahun tersebut juga terjadi kejadian El-Nino yang ekstrim.
Pada rentang tahun 2001-2013 hanya terjadi 3 kali tahun kasus La-Nina yang cukup ekstrim, yang
semuanya telah menggangu pembangunan sektor pertanian. Gangguan iklim untuk
pertanian adalah diakibatkan adanya CH yang cukup tinggi s/d tinggi saat
La-Nina dan terjadinya banjir pada wilayah yang lahannya beresiko mengalami
kebanjiran dan bencana longsor. Pada kejadian La-Nina menyebabkan kegagalan
produksi pangan karena kerusakan tanaman pangan disebabkan oleh kelebihan air
pada MK dan sangat kelebihan pada MH. Demikian pula kemunculan gangguan OPT
(organisme pengganggu tanaman = hama dan penyakit tanaman) baik pada saat
kelebihan kelembaban/air hujan saat MK maupun MH. Gangguan tanaman yang dialami
oleh tanaman saat masih muda lebih berat ketimbang tanamaan saat dewasanya.
Melihat kasus demikian, maka diperlukan peramalan (prediksi) kejadian La-Nina
dan adanya model teknologi budidaya yang telah teruji saat berlangsungya
La-Nina (maupun saat El-Nino tentunya). Agro-Teknologi meliputi teknologi: (i)
drainase eksternal lahan dan internal tanah saat banjir atau kelebihan air pada
lahan MK dan MH (saat La-Nina), (ii) varietas tanaman pangan semusim tahan
kelebihan air terutama saat MK dan MH saat La-Nina, (iii) kapasitas
mencukupi kebutuhan air dari waduk,
bendungan, saluran irigasi (memadai) basis daerah irigasi dan bangunan
pemanenan air hujan saat MK pada saat El-Nino; waduk, embung harus terpelihara
kapasitas tampungan airnya sesuai standar wilayah layanan pertanian, (iv)
teknologi lahan untuk pengawetan air dalam tanah yang sangat berguna saat
kejadian baik El-Nino maupun La-Nina. Kita akan melihat Table 2 berikut yang
menyajikan informasi besaran curah hujan (CH) dari data CH tahunan
keberlangsungan La-Nina tahun 1983 – 2011 (kopi dan review data internet, pustaka
ada di penulis).
Tabel 2. Data CH
Propinsi JawaTimur pada kejadian La-Nina antara tahun 1983 – 2011
Bulan ke
|
Rata-rata CH (mm)
|
Selisih dibanding CH normal (mm)
|
Persentase (%)
|
|
Normal
|
La-Nina
|
|||
1
|
302
|
302
|
-1
|
-0,3
|
2
|
302
|
276
|
-26
|
-8,6
|
3
|
254
|
280
|
26
|
10,2
|
4
|
174
|
225
|
51
|
29,6
|
5
|
83
|
106
|
23
|
28,3
|
6
|
69
|
83
|
15
|
21,5
|
7
|
28
|
35
|
7
|
25,1
|
8
|
13
|
22
|
9
|
69,2
|
9
|
25
|
39
|
14
|
57,9
|
10
|
80
|
132
|
53
|
66,0
|
11
|
159
|
227
|
68
|
42,5
|
12
|
279
|
224
|
-55
|
-19,6
|
Jumlah (kumulatif)
|
1.768
|
1.951
|
183
|
10,35
|
Rata-rata
|
147
|
224
|
15
|
10,4
|
MH (Nov-Apr)
|
245
|
256
|
11
|
4,3
|
MK (Mei-Okt)
|
49
|
26
|
20
|
40,8
|
Keterangan: CH= curah
hujan; MH = musim hujan; MK = musim kemarau; tahun kejadian La-Nina: 1988,
1989, 1999, 2000, 2008, 2010, 2011; tahun kejadian El-Nino: 1983, 1987, 1991,
1993, 1994, 1997, 2002. Sumber: Irawan, B. 2016.
Melihat
pada data Tabel 2 tersebut, mengambil kasus Propinsi Jawa Timur, kejadian
La-Nina menyebabkan kejadian tambahan CH sebesar rata-rata 15 mm/bulan dengan
rerata penambahan hujan saat MK 20 mm/bulan dan 11 mm/bulan saat MH. Kita juga
dapat menyatakan bahwa saat kejadian La-Nina kurun waktu 1983-2011 lalu, di
wilayah Jatim mengalami penambahan CH rata-rata sebesar 10,4 %, sebesar 40,8 %
peningkatan CH saat MK, namun hanya sebesar 4,3 % peningkatan CH-nya saat MH
kurun tahun tersebut. Kita juga dapat melihat, bahwa saat kejadian La-Nina,
pada saat MK peningkatan CH-nya sangat drastik (48 %) yang tentunya telah
merubah pola tanam saat itu dari palawija saat MK menjadi padi sawah lagi, atau
kalau pada lahan kering padi gogo + palawija. Fenomena perubahan iklim akibat
kejadian La-Nina tersebut tentunya telah memberikan bekal pengalaman berharga
kepada para petani di Jatim.
Fenomena La-Nina memberikan tambahan
(peningkatan) curah hujan baik pada saat musim hujan (MH) maupun saat musim
kemarau (MK). Peningkatan curah hujan memang akan lebih tinggi pada saat
La-Nina MK dibandingkan peningkatan CH saat La-Nina MH. Fenomena yang
menimbulkan pengalaman ini harus kita ambil makna kelimuan bahwa, saat kapanpun
terjadi La-Nina maupun El-Nino: wilayah manaupun, propinsi manapun, kabupaten
manapun, kecamatan manapun, akhirnya sampai petani di manapun di negara kita,
harus siap-siap melakukan tindakan teknologi adaptasi untuk pertanian. Caranya
adalah: (i) lakukan pembuatan bangunan pemanenan air hujan (waduk, embung,
biopori tanah, (ii) lakukan pembangunan sistem drainase yang memadai yang
dikaitkan dengan mengalirkannya pada sub-sub waduk sub-sub DAS, (iii) lakukan
reklamasi tubuh tanah sedemikian rupa sehingga mampu sebagai alat alami
peresapan air hujan, kemudian menampungnya menjadi air tanah; teknologi mulsa organik
permukaan tanah dan pemupukan organik akan mempercepat fungsi tubuh tanah
menjadi water reservoir (tampungan air), (iv) lakukanlah studi kemudian aksi
perubahan budidaya tanaman pangan menyangkut varietas yang sesuai dengan
kandungan air dalam tanah per dasarian agronomis, pola tanam, dan jarak tanam,
(v) lakukan aksi pengendalian OPT akibat peningkatan kelembaban tanah dan
banjiran saat La-Nina menurut periode MK dan MH, dan (vi) bagi Pemerintah
Daerah bersiaplah melakukan perluasan areal tanam dengan pola tanam yang
berubah sehingga akan terjadi peningkatan luas panenan tanaman pangan pada saat
kejadian La-Nina (maupun El-Nino tentunya!).
Akhirnya
kita harus bisa membuat tabel potensi perubahan variabel-variabel pengamatan
yang bisa berubah sebagai akibat berlangsungnya/kejadian El-Nino dan La-Nina
(Tabel 3). Disini lebih baik kita buat daftar tabel apa saja variabel lahan,
tanaman pangan, dan unsur iklim yang berubah akibat El-Nino dan La-Nina,
keduanya saya inputkan di sini karena keduanya merupakan siklus perubahan iklim
di Indonesia.
Tabel 3.
Variabel-variabel yang berubah menurut kejadian El-Nino dan La-Nina
Variabel
yang berubah
|
Dampak El-Nino
|
Dampak La-Nina
|
Jumlah
CH saat MK
|
Berkurang
drastik
|
Meningkat
biasa s/d drastic.
|
Jumlah
CH saat MH
|
Berkurang
|
Meningkat
dan menimbulkan banjir dan longsor.
|
Luas
tanam tanaman pangan
|
Berkurang
|
Bertambah
pada wilayah yang tidak sensitive terkena banjir.
|
Luas
panenan tanaman pangan
|
Berkurang
|
Bertambah
pada wilayah yang tidak sensitif terkena banjir.
|
Produksi
dan produktivitas tanaman
|
Berkurang
|
Meningkat
akibat peningkatan areal panenan apabila sebagian besar wilayah tidak
sensitif banjir.
|
Serangan
organisme pengganggu tanaman (hama dan penyakit)
|
Bisa
berkurang bisa meningkat
|
Meningkat
|
Debit
waduk
|
Menurun
|
Bisa
meningkat bisa juga tidak; tergantung daya tampung suatu waduk dan kemampuan
resapan/daya tampung air suatu Sub DAS /DAS.
|
Layanan
irigasi
|
Menurun
|
Meningkat
jumlah air yang mengalir, namun layanan irigasi bisa tetap mengingat bisa
terjadi luapan banjir.
|
Keterangan:
CH = curah hujan (mm); MK = musim kemarau; MH = musim hujan. Sumber: diolah
oleh R.M. Purwandaru Widyasunu T. (2016).
Telah
kita baca pada uraian di atas, bahwa akibat kejadian La-Nina adalah peningkatan
curah hujan (CH) baik pada saat MK maupun MH menyebabkan petani mengadakan
usaha adaptasi dalam budidaya tanaman pangan berupa perubahan pola tanam.
Tingkat perubahan sikap atas kejadian La-Nina tahun 1983 – 2011 berupa adaptasi
tersebut ternyata telah memicu perluasan areal tanam tanaman pangan, tidak
hanya di propinsi jatim namun juga di propinsi lain (Jateng, Jabar, NTB, Bali,
dan propinsi-propinsi di pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua).
Peningkatan areal tanam ini telah meningkatkan luasan panenan tanaman pangan
karena petani melihat potensi penanaman padi sawah dan palawija saat hujan MK;
berbeda dengan reaksi masyarakat tani saat kejadian El-Nino menyebabkan
penurunan luas penanaman akibatnya menurunkan luas areal panenan tanaman
pangan. Sebagai akibat (hasil) adanya perluasan areal tanam saat MK saat
kejadian La-Nina, maka juga terjadi peningkatan produksi dan produktivitas
tanaman pangan (padi, jagung, kedelai) saat MK-La-Nina. Areal perluasan tanam
dan panen tanaman pangan kemudian dilanjutkan saat MH-La-Nina; namun data
menunjukkan perluasannya tidak terlalu signifikan dibandingkan peningkatan luas
areal tanam dan panenan saat MK-La-Nina.
Produksi
padi, kedelai, dan jagung juga meningkat lebih tinggi saat MK-La-Nina
dibandingkan saat MH-La-Nina; ada pengaruh luasan wilayah pertanian yang
sensitive terhadap banjir yang menyebabkan perluasan panenan tidak signifikan.
Produksi saat MH-La-Nina juga terkendala di beberapa daerah karena adanya
peningkatan serangan OPT (organism pengganggu tanaman). Data menunjukkan adanya
deviasi (penyimpangan dari angka saat iklim normal) luas panenan saat La-Nina
antara tahun 1971-2009 (data Nasional). Deviasi saat La-Nina pada kisaran +0,63
% s/d +5,69 %; saat El-Nino angka deviasinya pada kisaran -0,56 % s/d -5,65 %
(angka positif menunjukkan peningkatan luas panen, angka negatif kebalikannya).
Dalam kaitannya dengan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim, maka saat La-Nina
petani telah mampu memanfaatkan peluang peningkatan luas tanam dan luas panen
saat La-Nina MK dan MH. Berbeda dengan kemampuan adaptasi petani saat kejadian
El-Nino, dimana terjadi penurunan CH saat MK dan MH. Utamanya ketidakmampuan
antisipasi kekurangan air untuk budidaya saat El-Nino-MK; waduk-waduk di pulau
Jawa dan Sumatera mengalami penurunan debit karena suplai air menurun drastik
masuk waduk. Waduk-waduk utama Jawa dan Lampung saat El-Nino-MK menurun 15-25 %
pada kurun MK I dan menurun sampai 30-50 % saat MK II; saat MH hujan juga ada
penurunan debit sebesar 10-20 % (semua data-data adalah data share dari internet
pada penulis).
Dampak La-Nina terhadap
produksi dan produktivitas tanaman pangan
Tabel 4. Data deviasi produksi dan
produktivitas tanaman pangan Nasional saat La-Nina pada kurun tahun 1970-2010
(data internet pada penulis).
Variabel
|
Kondisi
iklim
|
Padi
|
Jagung
|
Kedelai
|
Deviasi
produksi
|
Normal
|
0,20
|
0,23
|
-0,14
|
La-Nina
|
1,99
|
3,36
|
4,15
|
|
Dampak
produksi
|
La-Nina
|
1,78
|
3,14
|
4,29
|
Deviasi
produktivitas
|
Normal
|
-0,22
|
0,01
|
-0,04
|
La-Nina
|
-0,87
|
-0,41
|
-0,83
|
|
Dampak
produktivitas
|
La-Nina
|
-0,65
|
-0,41
|
-0,78
|
Peningkatan produksi padi saat
La-Nina terutama disebabkan oleh meningkatnya luas panenan padi; hal yang sama
terjadi pada tanaman pangan jagung dan kedelai. Mengingat fenomena seperti ini
maka, seyogyanya Pemerintah berupaya membina petani agar mempertahankan atau
memperluas areal penanaman padi, jagung, dan kedelai; sekaligus Pemerintah
berupaya mencegah berkurangnya luas areal penanaman sehingga mencegah penurunan
luas panenan akibat La-Nina. Kecenderungan semua jenis tanaman pangan utama
mengalami penurunan produktivitasnya baik saat iklim normal apalagi saat
La-Nina dan El-Nino. Perintah Propinsi dan Kabupaten harus melakukan program
pekerjaan strategis menghadapi La-Nina (dan El-Nino) yaitu: (i) memastikan sistem
pertanian daerah mampu mencegah berkurangnya luas areal tanam tanaman pangan
utama tersebut baik saat iklim normal maupun gangguan (El-Nino, La-Nina, dan
Pemanasan Global), (ii) tersedianya infrastruktur irigasi dan drainase, (iii)
tersedianya benih dan bibit unggul khusus kejadian La-Nina, El-Nino, dan normal
namun ada fenomena PG (Pemasanan Global). Artinya petani, pemerintah, dan
perguruan tinggi harus menjadi perangkat handal dalam adaptasi dan
menanggulangi perubahan iklim La-Nina, El-Nino, Pemanasan Global.
Penulis: R.M. Purwandaru Widyasunu
Tondakusuma.
Refferences:
Becker, E. 2016. April 2016 El-Nino / La-Nina
update: What goes up? (in PDF from internet).
FAO. 2016. La-Nina: Early warning – early action
analysis for a potential La-Nina in 2016-2017.
Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y. Syaukat. 2008.
Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan
independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. Semeo Biotrop for
Partnership for Government Reform in Indoensia. 191 hal.
Irawan, B. 2016. Dampak El-Nino dan La-Nina terhadap
Produksi Padi dab Palawija. (in PDF from internet). 51 hal.
NN. 2016. LA NINA. I.n PDF from internet
Prabowo, M.R. 2016. La-Nina Akan Datang Juni Hingga
September 2016? Deputi Bidang Klimatologi BMKG: tentang prakiraan La-Nina. 16
April 2016. Internet.