Thursday 15 December 2016

Memahami La Nina, Dampaknya bagi Produksi Pertanian dan Adaptasinya

Memahami La Nina, Dampaknya bagi Produksi Pertanian dan Adaptasinya
Oleh: Ir. R.M. Purwandaru Widyasunu Tondakusuma, MSc.Agr.
14 Desember 2016.
(Dosen Bidang Studi Ilmu-Ilmu Tanah, Lahan, dan Agroklimatologi - Agroteknologi Faperta Unsoed)

Tulisan merupakan review dari tulisan –tulisan di internet (blog, PDF internet) Surat Kabar,dan Buku.

Iklim merupakan rata-rata cuaca jangka panjang. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi oleh langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada jangka waktu yang panjang. Unsur iklim peragam kondisi atmosfera bumi ada banyak yaitu: radiasi sinar matahari, hujan, kelembaban udara, temperature udara, tekanan udara, angin, dan komposisi gas-gas dan partikel padatan di atmosfer. Secara umum kondisi curah hujan dan suhu udara suatu wilayah dapat menggambarkan kondisi iklim wilayah tersebut. Untuk wilayah NKRI, dibanding unsur-unsur iklim yang lainnya, curah hujan mempunyai sifat ragam yang tinggi, baik hal itu menurut tempat maupun rentang waktu (musim).
Wilayah Indonesia terdapat tiga pola hujan yaitu: monsoon, ekuatorial, dan lokal. Analisis data hujan yang tercatat, menunjukkan bahwa antara tahun 1971 -2002, curah hujan tahunan di Indonesia berkisar antara 501 mm – 6.400 mm. Panjang periode musim hujannya sangat beragam tiap wilayah Indonesia, yaitu antara 1 sampai 10 bulan, dengan periode musim kemaraunya antara 2 sampai 11 bulan. Panjang pendeknya periode hujan dan kemarau tersebut kemudian berdasarkan fenomena perubahan iklim juga mengalami perubahan memendek atau dan memanjang akibat fenomena El-Nino dan La-Nina.
Posisi geografis wilayah Indonesia menyebabkan iklim Indonesia dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim regional dan global seperti: monsoon, El-Nino, La-Nina, dan ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone. El-Nino dan La-Nina selama tahun pengamatan 1973-2013 telah mengalami sebelas kali (12 x) El-Nino dan 12 x La-Nina, yang teramati wilayah Indonesia di masing-masing propinsi mengalami pemanjangan pemendekan musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK). Pergeseran/perubahan panjang pendek MH dan MK ini menyebabkan berubahnya pola tanam tanaman pangan di Negara kita ini; juga merubah luasan tanam sekaligus luasan panenan, produksi tanaman pangan utama, dan otomatis produktivitas tanamannya.
Sekarang kita melihat dahulu apakah El-Nino danLa-Nina itu; membahas La-Nina tidak bisa terlepas dari El-Nino, karena keduanya siklus perubahan suhu permukaan air laut global di Samudera pasifik yang sangat berhubungan dan berdampak bagi Negara kita Indonesia. Indonesia (NKRI) adalah wilayah maritim dengan wilayah lautan sangat luas mengelilingi pulau-pulaunya > 12.000 pulau besar dan kecil. Tetunya masyarakat awam tidak atau belum mengerti betul bahwa luasnya lautan dan dikelilingi oleh samudera Pasifik dan samudera Hindia, hal itu menyebabkan variabilitas iklim wilayah Indonesia menjadi sangat beragam. Termasuk perubahan suhu muka laut dibentangan luas barat timur samudera Pasifik sangat mempengaruhi/berdampak negatif dan positif terhadap iklim di wilayah NKRI. Informasi data fenomena El-Nino dan La-Nina saat ini (data dan ilustrasi NASA tahun 2015/2016), wilayahnya meluas ke wilayah Pasifik utara. Hal tersebut, memungkinkan lebih meluasnya dampak kejadian El-Nino dan La-Nina pada siklus yang akan datang, paska menguatnya fenomena La-Nina 2016 ini.
El-Nino dan La-Nina proses fenomenanya sangat dipengaruhi perubahan suhu muka laut samudera Pasifik; siklus El-Nino dan La-Nina kemudian menjadi salah satu fenomena perubahan iklim di wilayah NKRI kita ini. El-Nino adalah peristiwa memanasnya suhu air permukaan laut di pantai barat Peru-Ekuador (Amerika Selatan) yang mengakibatkan gangguan iklim secara global. Biasanya suhu permukaan laut di wilayah tersebut dingin karena adanya up-welling (arus dasar laut menuju permukaan). Di Indonesia, angin muson (monsoon) yang datang dari Asia dan membawa banyak uap air, sebagian besar berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai barat Peru-Ekuador. Akibatnya angin yang menuju Indonesia hanya membawa sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang (memanjang). Fenomena El-Nino menyebabkan terjadinya kemarau panjang di Indonesia atau musim hujannya mengalami pengurangan curah hujan dibawah normal. La-Nina adalah kebalikan dari El-Nino. Peristiwa El-Nino dan La-Nina di Indonesia selalu teramati merupakan suatu siklus energi dan hidrologis, jadi biasanya setelah setahun/dua tahun El-Nino maka disusul satu dua tahun berikutnya terjadi La-Nina. La-Nina adalah peristiwa siklus energi hidrologis samudera Pasifik ketika El-Nino mulai melemah. Melemahnya El-Nino membuat air laut panas di pantai Peru-Ekuador kembali bergerak ke       arah barat (Samudera Pasifik), sehingga suhu udara di tempat itu kembali menjadi dingin, dan up-welling muncul kembali, sehingga kondisi cuaca kembali menjadi normal. Dengan demikian, La-Nina adalah kondisi cuaca/iklim normal kembali setelah terjadinya gejala El-Nino. Perjalanan air laut yang panas ke arah barat (arah ke Indonesia dari Peru-Ekuador) tersebut akhirnya akan sampai di wilayah Indonesia. Sebagai akibatnya, maka wilayah Indonesia akan berubah menjadi daerah/wilayah bertekanan rendah (minimum) dan semua angin di sekitar Pasifik selatan dan samudera Hindia akan bergerak menuju wilayah Indonesia membawa uap air (hujan). Angin tersebut banyak membawa uap air sehingga umum terjadi hujan lebat walaupun regulernya sedang musim kemarau.

Fenomena El-Nino & La-Nina:
Ketika terjadi La-Nina, ada “kolam panas” yang merupakan suatu bagian (wilayah) air laut samudera Pasifik timur meningkat suhunya, kemudian bergerak ke Indonesia, demikian pula terjadi angin bertiup kuat ke arah Indonesia sehingga laut Indonesia bagian timur memanas suhunya. Memanasnya laut bagian timur NKRI ini diikuti penguapan tinggi sehingga terjadi konveksi energi yang kuat sehingga membentuk awan hujan (kumulus), sehingga terjadi proses hujan di atas normal di wilayah Indonesia. Fenomena La-Nina ditandai dengan menurunnya SPL (suhu permukaan laut) pada zona Nino (zona 3, 4), sehingga sering disebut juga sebagai fase dingin. Karena adanya sifat dingin ini, maka sering menimbulkan bencana banjir besar dengan disertai pergerakan masssa massif tanah di daerah longsor di berbagai wilayah Nusantara. Dengan demikian DUA gejala perubahan iklim El-Nino dan La-Nina sama-sama menyebar kebencanaan (kekeringan, banjir, tanah longsor massif) yang harus bisa ditanggulangi dan diadaptasi oleh tidak hanya dunia pertanian tapi juga masyarakat umum. Kondisi yang perlu diperhatikan baik oleh masyarakat maupun oleh Pemerintah adalah waktu kejadian El-Nino dan La-Nina sulit diprediksi kedatangannya pada tahun sebelum terjadi siklus menyambung El-Nino & La-Nina; juga siklusnya dilihat dari data sejarah adalah tidak beraturan. Kondisi tersebut menyebabkan efek El-Nino & La-Nina mampu menggeser waktu musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK); akibatnya mampu menggeser/merubah pola tanam tanaman pangan (tanaman semusim) pada tingkat petani (lapangan).  Bergesernya panjang MH dan MK tergantung pada tingkat SOI (Southern Oscilation Index) gejala El-Nino & La-Nina. Pada kondisi iklim normal atau sedang tidak ada gangguan iklim (El-Nino & La-Nina, pen.), maka SOI kisarannya adalah   -1 s/d +1. Kejadian El-Nino SOI dapat turun dibawah -1 (dibawah normal), sedangkan gejala La-Nina SOI bisa naik di atas +1 (di atas normal). Di kawasan tropika nilai SOI berkorelasi kuat dengan curah hujan, oleh karenanya perubahan SOI akan mempengaruhi besaran curah hujan suatu wilayah tropika. Jadi bila terjadi El-Nino, maka curah hujan (CH) akan dibawah normal, artinya CH berkurang dan kejadian sejarah menunjukkan CH menurun tajam pada saat MK maupun MH. Pada kejadian La-Nina, maka CH akan di atas normal yaitu CH meningkat bisa sangat tinggi pada saat MK juga MH. Akibat keduanya (El-Nino & La-Nina) terjadi perubahan panjang pendeknya MH dan MK dengan perubahan CH hujan masing-masing tahun kejadian El-Nino & La-Nina. SOI dengan nilai tidak ekstrim, hal itu tidak menyebabkan perubahan CH yang tidak ekstrim. Sebaliknya SOI dengan nilai katakanlah >> -/+ 5 apalagi sampai -/+ 10, maka akan terjadi kekeringan hebat akibat CH menurun drastik, atau akan terjadi MK basah s/d sangat basah dan bisa terjadi banjir bandang dan longsor massif pada wilayah yang lahannya sensitive banjir dan longsor.
Frekwensi, Perubahan Kebasahan dan Curah Hujan, dan Dampak Saat La-Nina:
Arti frekwensi perubahan kebasahan dan tinggi CH (curah hujan) dan dampaknya saat proses La-Nina adalah seberapa jauh akibat tingkat kebasahan suatu wilayah akibat turunnya hujan (CH) pada tahun-tahun berlangsungnya La-Nina dan dampak yang diakibatkannya bagi masyarakat atau dunia pertanian. Kita secara nasional telah mempunyai data kekuatan SOI pada saat El-Nino maupun La-Nina. Pada kurun tahun 1970 – 2013 telah tercatat 12 kali tahun mengalami La-Nina cukup ekstrim sampai ekstrim yaitu tahun-tahun: 1970,1971, 1973, 1974, 1975, 1988, 1989, 1999, 2000, 2008, 2010, dan 2011; dengan mulainya Juli tahun 2016 ini terjadi La-Nina (tahun 2015 El-Nino), maka sedang terjadi kali ke-13 tahun-tahun La-Nina antara kurun tahun 1970-2016. Bulan Juli tahun 2016 ini sudah lebih dari 3/4 bulan terjadi hujan di beberapa wilayah Indonesia. Hal ni mengindikasikan adanya pergerakan penguatan La-Nina pada tahun 2016 ini. Di berita surat kabar sudah banyak muncul informasi kebingungan petani untuk mulai membudidayakan komoditas tanaman apa pada bulan Juli 2016 ini. Regulernya adalah menanam palawija (kedelai, jagung), baru awal MH 2016 (Okt-Nov) menanam padi sawah lagi; atau bagi petani bawang merah Brebes September/Oktober mulai tanam bawang merah. Guna menentukannya mari kita melihat pengalaman sejarah kita mengalami La-Nina.

Tabel 1. Nilai SOI saat La-Nina rentang tahun 1970-2013.

Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Agts
Sept
Okt
Nov
Des
1970 N
- 10,1
-10,7
1,8
- 4,6
2,1
9,9
- 5,6
4,0
12,9
10,3
19,7
17,4
1971 La
2,7
15,7
19,2
22,6
9,2
2,6
1,6
14,9
15,9
17,7
7,2
2,1
1973 La
- 3,0
-13,5
0,8
-2,1
2,8
12,3
6,1
12,3
13,5
9,7
31,6
16,9
1974 La
20,8
16,2
20,3
11,1
10,7
2,6
12,0
6,6
12,3
8,5
-1,4
-0,9
1975 La
-4,9
5,3
11,6
14,4
6,0
15,5
21,1
20,7
22,5
17,7
13,8
19,5
1988 La
-1,1
-5,0
2,4
-1,3
10,0
-3,9
11,3
14,9
20,1
14,6
21,0
10,8
1989 La
13,2
9,1
6,7
21,0
14,7
7,4
9,4
-6,3
5,7
7,3
-2,0
-5,0
1997 El
4,1
13,3
-8,5
-16,2
-22,4
-24,1
-9,5
-19,8
-14,8
-17,8
-15,2
-9,1
1998 El/N
-23,5
-19,2
-28,5
-24,4
0,5
9,9
14,6
9,8
11,1
10,9
12,5
13,2
1999 La
15,6
8,5
8,9
18,5
1,3
1,0
4,8
2,1
0,4
9,1
13,1
12,8
2000 La
5,1
12,9
9,4
16,8
3,6
-5,5
-3,7
5,3
9,9
9,7
22,4
7,7
2008 La
14,1
21,3
12,2
4,5
4,3
5,0
2,2
9,1
14,1
13,4
17,1
13,3
2009 N
9,4
14,8
0,2
8,6
-5,1
-2,3
1,6
-5,0
3,9
-14,7
-6,7
-7,0
2010 La
-10,1
-14,5
-10,6
15,2
10,0
1,8
20,5
18,8
25,0
18,3
16,4
27,1
2011 La
20,0
22,6
21,3
25,7
1,7
1,6
10,4
2,0
11,4
8,4
13,0
23,0
2012 N
9,9
2,4
2,9
-6,5
-2,7
-10,7
-1,0
-5,7
2,9
2,2
3,9
-6,1
Keterangan: N=normal; La = La-Nina; El = El-Nino (data pdf dari internet). Sumber: Irawan, B. 2016.

Pada periode tahun 1970-2000 terjadi 8 kali tahun kasus La-Nina yang cukup ekstrim, yang pada rentang tahun tersebut juga terjadi kejadian El-Nino yang ekstrim. Pada rentang tahun 2001-2013 hanya terjadi 3 kali  tahun kasus La-Nina yang cukup ekstrim, yang semuanya telah menggangu pembangunan sektor pertanian. Gangguan iklim untuk pertanian adalah diakibatkan adanya CH yang cukup tinggi s/d tinggi saat La-Nina dan terjadinya banjir pada wilayah yang lahannya beresiko mengalami kebanjiran dan bencana longsor. Pada kejadian La-Nina menyebabkan kegagalan produksi pangan karena kerusakan tanaman pangan disebabkan oleh kelebihan air pada MK dan sangat kelebihan pada MH. Demikian pula kemunculan gangguan OPT (organisme pengganggu tanaman = hama dan penyakit tanaman) baik pada saat kelebihan kelembaban/air hujan saat MK maupun MH. Gangguan tanaman yang dialami oleh tanaman saat masih muda lebih berat ketimbang tanamaan saat dewasanya. Melihat kasus demikian, maka diperlukan peramalan (prediksi) kejadian La-Nina dan adanya model teknologi budidaya yang telah teruji saat berlangsungya La-Nina (maupun saat El-Nino tentunya). Agro-Teknologi meliputi teknologi: (i) drainase eksternal lahan dan internal tanah saat banjir atau kelebihan air pada lahan MK dan MH (saat La-Nina), (ii) varietas tanaman pangan semusim tahan kelebihan air terutama saat MK dan MH saat La-Nina, (iii) kapasitas mencukupi  kebutuhan air dari waduk, bendungan, saluran irigasi (memadai) basis daerah irigasi dan bangunan pemanenan air hujan saat MK pada saat El-Nino; waduk, embung harus terpelihara kapasitas tampungan airnya sesuai standar wilayah layanan pertanian, (iv) teknologi lahan untuk pengawetan air dalam tanah yang sangat berguna saat kejadian baik El-Nino maupun La-Nina. Kita akan melihat Table 2 berikut yang menyajikan informasi besaran curah hujan (CH) dari data CH tahunan keberlangsungan La-Nina tahun 1983 – 2011 (kopi dan review data internet, pustaka ada di penulis).

Tabel 2. Data CH Propinsi JawaTimur pada kejadian La-Nina antara tahun 1983 – 2011


Bulan ke
Rata-rata CH (mm)
Selisih dibanding CH normal (mm)
Persentase (%)
Normal
La-Nina
1
302
302
-1
-0,3
2
302
276
-26
-8,6
3
254
280
26
10,2
4
174
225
51
29,6
5
83
106
23
28,3
6
69
83
15
21,5
7
28
35
7
25,1
8
13
22
9
69,2
9
25
39
14
57,9
10
80
132
53
66,0
11
159
227
68
42,5
12
279
224
-55
-19,6
Jumlah (kumulatif)
1.768
1.951
183
10,35
Rata-rata
147
224
15
10,4
MH (Nov-Apr)
245
256
11
4,3
MK (Mei-Okt)
49
26
20
40,8
Keterangan: CH= curah hujan; MH = musim hujan; MK = musim kemarau; tahun kejadian La-Nina: 1988, 1989, 1999, 2000, 2008, 2010, 2011; tahun kejadian El-Nino: 1983, 1987, 1991, 1993, 1994, 1997, 2002. Sumber: Irawan, B. 2016.

Melihat pada data Tabel 2 tersebut, mengambil kasus Propinsi Jawa Timur, kejadian La-Nina menyebabkan kejadian tambahan CH sebesar rata-rata 15 mm/bulan dengan rerata penambahan hujan saat MK 20 mm/bulan dan 11 mm/bulan saat MH. Kita juga dapat menyatakan bahwa saat kejadian La-Nina kurun waktu 1983-2011 lalu, di wilayah Jatim mengalami penambahan CH rata-rata sebesar 10,4 %, sebesar 40,8 % peningkatan CH saat MK, namun hanya sebesar 4,3 % peningkatan CH-nya saat MH kurun tahun tersebut. Kita juga dapat melihat, bahwa saat kejadian La-Nina, pada saat MK peningkatan CH-nya sangat drastik (48 %) yang tentunya telah merubah pola tanam saat itu dari palawija saat MK menjadi padi sawah lagi, atau kalau pada lahan kering padi gogo + palawija. Fenomena perubahan iklim akibat kejadian La-Nina tersebut tentunya telah memberikan bekal pengalaman berharga kepada para petani di Jatim. 

Fenomena La-Nina memberikan tambahan (peningkatan) curah hujan baik pada saat musim hujan (MH) maupun saat musim kemarau (MK). Peningkatan curah hujan memang akan lebih tinggi pada saat La-Nina MK dibandingkan peningkatan CH saat La-Nina MH. Fenomena yang menimbulkan pengalaman ini harus kita ambil makna kelimuan bahwa, saat kapanpun terjadi La-Nina maupun El-Nino: wilayah manaupun, propinsi manapun, kabupaten manapun, kecamatan manapun, akhirnya sampai petani di manapun di negara kita, harus siap-siap melakukan tindakan teknologi adaptasi untuk pertanian. Caranya adalah: (i) lakukan pembuatan bangunan pemanenan air hujan (waduk, embung, biopori tanah, (ii) lakukan pembangunan sistem drainase yang memadai yang dikaitkan dengan mengalirkannya pada sub-sub waduk sub-sub DAS, (iii) lakukan reklamasi tubuh tanah sedemikian rupa sehingga mampu sebagai alat alami peresapan air hujan, kemudian menampungnya menjadi air tanah; teknologi mulsa organik permukaan tanah dan pemupukan organik akan mempercepat fungsi tubuh tanah menjadi water reservoir (tampungan air), (iv) lakukanlah studi kemudian aksi perubahan budidaya tanaman pangan menyangkut varietas yang sesuai dengan kandungan air dalam tanah per dasarian agronomis, pola tanam, dan jarak tanam, (v) lakukan aksi pengendalian OPT akibat peningkatan kelembaban tanah dan banjiran saat La-Nina menurut periode MK dan MH, dan (vi) bagi Pemerintah Daerah bersiaplah melakukan perluasan areal tanam dengan pola tanam yang berubah sehingga akan terjadi peningkatan luas panenan tanaman pangan pada saat kejadian La-Nina (maupun El-Nino tentunya!).
Akhirnya kita harus bisa membuat tabel potensi perubahan variabel-variabel pengamatan yang bisa berubah sebagai akibat berlangsungnya/kejadian El-Nino dan La-Nina (Tabel 3). Disini lebih baik kita buat daftar tabel apa saja variabel lahan, tanaman pangan, dan unsur iklim yang berubah akibat El-Nino dan La-Nina, keduanya saya inputkan di sini karena keduanya merupakan siklus perubahan iklim di Indonesia.

Tabel 3. Variabel-variabel yang berubah menurut kejadian El-Nino dan La-Nina

Variabel yang berubah
Dampak El-Nino
Dampak La-Nina
Jumlah CH saat MK
Berkurang drastik
Meningkat biasa s/d drastic.
Jumlah CH saat MH
Berkurang
Meningkat dan menimbulkan banjir dan longsor.
Luas tanam tanaman pangan
Berkurang
Bertambah pada wilayah yang tidak sensitive terkena banjir.
Luas panenan tanaman pangan
Berkurang
Bertambah pada wilayah yang tidak sensitif terkena banjir.
Produksi dan produktivitas tanaman
Berkurang
Meningkat akibat peningkatan areal panenan apabila sebagian besar wilayah tidak sensitif banjir.
Serangan organisme pengganggu tanaman (hama dan penyakit)
Bisa berkurang bisa meningkat
Meningkat
Debit waduk
Menurun
Bisa meningkat bisa juga tidak; tergantung daya tampung suatu waduk dan kemampuan resapan/daya tampung air suatu Sub DAS /DAS.
Layanan irigasi
Menurun
Meningkat jumlah air yang mengalir, namun layanan irigasi bisa tetap mengingat bisa terjadi luapan banjir.
Keterangan: CH = curah hujan (mm); MK = musim kemarau; MH = musim hujan. Sumber: diolah oleh R.M. Purwandaru Widyasunu T. (2016).

Telah kita baca pada uraian di atas, bahwa akibat kejadian La-Nina adalah peningkatan curah hujan (CH) baik pada saat MK maupun MH menyebabkan petani mengadakan usaha adaptasi dalam budidaya tanaman pangan berupa perubahan pola tanam. Tingkat perubahan sikap atas kejadian La-Nina tahun 1983 – 2011 berupa adaptasi tersebut ternyata telah memicu perluasan areal tanam tanaman pangan, tidak hanya di propinsi jatim namun juga di propinsi lain (Jateng, Jabar, NTB, Bali, dan propinsi-propinsi di pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua). Peningkatan areal tanam ini telah meningkatkan luasan panenan tanaman pangan karena petani melihat potensi penanaman padi sawah dan palawija saat hujan MK; berbeda dengan reaksi masyarakat tani saat kejadian El-Nino menyebabkan penurunan luas penanaman akibatnya menurunkan luas areal panenan tanaman pangan. Sebagai akibat (hasil) adanya perluasan areal tanam saat MK saat kejadian La-Nina, maka juga terjadi peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai) saat MK-La-Nina. Areal perluasan tanam dan panen tanaman pangan kemudian dilanjutkan saat MH-La-Nina; namun data menunjukkan perluasannya tidak terlalu signifikan dibandingkan peningkatan luas areal tanam dan panenan saat MK-La-Nina.
Produksi padi, kedelai, dan jagung juga meningkat lebih tinggi saat MK-La-Nina dibandingkan saat MH-La-Nina; ada pengaruh luasan wilayah pertanian yang sensitive terhadap banjir yang menyebabkan perluasan panenan tidak signifikan. Produksi saat MH-La-Nina juga terkendala di beberapa daerah karena adanya peningkatan serangan OPT (organism pengganggu tanaman). Data menunjukkan adanya deviasi (penyimpangan dari angka saat iklim normal) luas panenan saat La-Nina antara tahun 1971-2009 (data Nasional). Deviasi saat La-Nina pada kisaran +0,63 % s/d +5,69 %; saat El-Nino angka deviasinya pada kisaran -0,56 % s/d -5,65 % (angka positif menunjukkan peningkatan luas panen, angka negatif kebalikannya). Dalam kaitannya dengan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim, maka saat La-Nina petani telah mampu memanfaatkan peluang peningkatan luas tanam dan luas panen saat La-Nina MK dan MH. Berbeda dengan kemampuan adaptasi petani saat kejadian El-Nino, dimana terjadi penurunan CH saat MK dan MH. Utamanya ketidakmampuan antisipasi kekurangan air untuk budidaya saat El-Nino-MK; waduk-waduk di pulau Jawa dan Sumatera mengalami penurunan debit karena suplai air menurun drastik masuk waduk. Waduk-waduk utama Jawa dan Lampung saat El-Nino-MK menurun 15-25 % pada kurun MK I dan menurun sampai 30-50 % saat MK II; saat MH hujan juga ada penurunan debit sebesar 10-20 % (semua data-data adalah data share dari internet pada penulis).

Dampak La-Nina terhadap produksi dan produktivitas tanaman pangan

Tabel 4. Data deviasi produksi dan produktivitas tanaman pangan Nasional saat La-Nina pada kurun tahun 1970-2010 (data internet pada penulis).
Variabel
Kondisi iklim
Padi
Jagung
Kedelai
Deviasi produksi
Normal
0,20
0,23
-0,14

La-Nina
1,99
3,36
4,15
Dampak produksi
La-Nina
1,78
3,14
4,29
Deviasi produktivitas
Normal
-0,22
0,01
-0,04

La-Nina
-0,87
-0,41
-0,83
Dampak produktivitas
La-Nina
-0,65
-0,41
-0,78



           
Peningkatan produksi padi saat La-Nina terutama disebabkan oleh meningkatnya luas panenan padi; hal yang sama terjadi pada tanaman pangan jagung dan kedelai. Mengingat fenomena seperti ini maka, seyogyanya Pemerintah berupaya membina petani agar mempertahankan atau memperluas areal penanaman padi, jagung, dan kedelai; sekaligus Pemerintah berupaya mencegah berkurangnya luas areal penanaman sehingga mencegah penurunan luas panenan akibat La-Nina. Kecenderungan semua jenis tanaman pangan utama mengalami penurunan produktivitasnya baik saat iklim normal apalagi saat La-Nina dan El-Nino. Perintah Propinsi dan Kabupaten harus melakukan program pekerjaan strategis menghadapi La-Nina (dan El-Nino) yaitu: (i) memastikan sistem pertanian daerah mampu mencegah berkurangnya luas areal tanam tanaman pangan utama tersebut baik saat iklim normal maupun gangguan (El-Nino, La-Nina, dan Pemanasan Global), (ii) tersedianya infrastruktur irigasi dan drainase, (iii) tersedianya benih dan bibit unggul khusus kejadian La-Nina, El-Nino, dan normal namun ada fenomena PG (Pemasanan Global). Artinya petani, pemerintah, dan perguruan tinggi harus menjadi perangkat handal dalam adaptasi dan menanggulangi perubahan iklim La-Nina, El-Nino, Pemanasan Global.

Penulis: R.M. Purwandaru Widyasunu Tondakusuma.

Refferences:
 Becker, E. 2016. April 2016 El-Nino / La-Nina update: What goes up? (in PDF from internet).
 FAO. 2016. La-Nina: Early warning – early action analysis for a potential La-Nina in 2016-2017.
Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y. Syaukat. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. Semeo Biotrop for Partnership for Government Reform in Indoensia. 191 hal.
Irawan, B. 2016. Dampak El-Nino dan La-Nina terhadap Produksi Padi dab Palawija. (in PDF from internet). 51 hal.
NN. 2016. LA NINA. I.n PDF from internet
Prabowo, M.R. 2016. La-Nina Akan Datang Juni Hingga September 2016? Deputi Bidang Klimatologi BMKG: tentang prakiraan La-Nina. 16 April 2016. Internet.